Seputar BBM: Fakta Produksi

Saya tertarik untuk mendokumentasikan apa yang terjadi menjelang 1 April 2012 yang diyakini sebagai hari penting jika wakil rakyat di DPR menyetujui kenaikan harga BBM. Dokumentasi pertama yang ingin saya tuangkan adalah sebuah tulisan oleh Pri Agung Rakhmanto (Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute) yang menulis artikel “Memahami Sistem Bagi Hasil Migas” di harian Jawa Pos, Selasa, 27 Maret 2012, Ekonomi Bisnis (halaman 6). Tulisan ini sangat basic, mudah dicerna, dan memberikan pencerahan perihal perminyakan untuk orang yang awam perminyakan.

Pri menyatakan bahwa eksplorasi migas di Indonesia didasarkan pada pola kerja sama production sharing contract. Negara belum bisa mengusahakan sendiri eskplorasi migas, tetapi bekerjasama dengan pihak asing. Fakta ini yang menyebabkan Indonesia sebagai penghasil migas (900 ribu barrel per hari saat ini), tetapi tidak bisa menikmati hasil produksinya untuk kepentingan rakyat karena harus share (85:15) dengan pihak asing.

Pri juga memberikan hitung-hitungan sederhana yang menarik disimak. Pertama, Indonesia harus melakukan cost recovery kepada pihak asing sebanyak 350 ribu barrel per hari. Kedua, Indonesia ‘hanya’ memperoleh 467,5 ribu barrel per hari (85%) dan asing menerima 82,5 ribu barrel per hari (15%). Alhasil, jika konsumsi migas saat ini 1,2 juta barrel per hari, impor yang harus dilakukan adalah 732,5 ribu barrel per hari.

Illustrasi ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara net importir migas, bukan net exportir. Oleh karenanya, Indonesia keluar dari organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Seandainya pun Indonesia mampu mengeksplorasi sendiri, Indonesia masih tetap net importir (dengan asumsi  produksi 900 ribu barrel per hari dan konsumsi 1,2 juta barrel per hari. Sebagai negara net importir, Indonesia akan secara mudah terekspos negatif oleh tren kenaikanharga minyak.

UKM (tidak) Perlu Berpengetahuan Marketing ?

Beberapa minggu yang lalu saya mendatangi sebuah perusahaan jasa penjahitan baju. Saya membawa selembar bakal baju berbahan batik khas Jember. Saya mendatangi perusahaan ini karena seorang teman memberikan penilaian positif terhadap hasil jahitan bajunya. Saya menganggap penilaian positif ini sebagai rekomendasi positif. Singkatnya, saya berani mencoba karena efek word to mouth promotion ini.

Seperti biasanya, si penjahit, yang saya duga adalah pemilik dari usaha ini, langsung melakukan body fit dan mencatat hasilnya pada log booknya. Tidak lupa dia menanyakan perihal model baju. Say a memesan model baju lengan pendek  dengan kancing baju yang tertutup. Setelah selesai body fit, saya menerima sebuah kuintansi dari si penjahit tersebut dan saya pun membayar lunas ongkos jahitnya. Dia meminta saya untuk kembali lagi untuk mengambil hasilnya seminggu kemudian.

Tujuh hari berikutnya saya mendatangi perusahaan jasa ini. Sayangnya, saya harus menyimpan kecewa yang pertama. Pintu harmonika perusahaan ini tertutup. Saya sempat mengintip bagian dalam ruangan. Saya melihat lampu ruangan menyala. Saya ketuk pintu besi itu dengan batang kunci kendaraan yang saya bawa. Ternyata, tidak ada respons sama sekali. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang.

Dua hari kemudian saya kembali mendatangi perusahaan jasa ini. Lagi, saya harus menyimpan kecewa yang kedua. Pintu harmonika perusahaan ini terbuka. Yang ada di dalam ruangan hanya seorang pegawai yang membantu menjahit. Saya menyodorkan kuintansi pengambilan baju kepadanya. Ternyata, baju belum selesai dijahit dan bahkan kain batik itu belum diapa-apakan. Dia  mengatakan bahwa si empunya sedang pergi keluar kota seminggu ini dan baru balik esok hari.  Saya lalu dengan bersabar menanyakan kapan baju saya selesai. Si pegawai  menyebut waktu enam hari lagi!

Saya tidak habis berpikir dengan ‘keberanian’ si pemilik perusahaan untuk mengabaikan hak seorang konsumen. Dia menganggap bahwa konsumen yang membutuhkan dia. Toh, kain yang dibawa konsumen dan ongkos kerja yang sudah terbayar berada di sisi dia. Dengan kata lain, dia pada posisi tawar yang bagus karena pasti konsumen akan kembali lagi untuk mengambil baju yang dipesannya.

Saya hanya menduga bahwa si penjahit ini merasa hasil kerjanya sudah super, the best, tidak ada tandingannya. Dengan demikian, dia merasa memegang monopoly power sehingga dia  bisa bekerja seenaknya. Tapi toh, dugaan saya ini bisa salah dan di sektor jasa penjahitan baju ini monopoly power tidak mudah memperolehnya. Seandainya, monopoly power benar dimilikinya, menghormati hak konsumen adalah suatu tindakan terpuji.

Lalu, saya memberanikan diri untuk melakukan over-generalization: kalau semua perusahaan sejenis ini, dengan skala Usaha Kecil dan Mikro (UKM),tidak memahami konsep marketing ini (dalam hal ini memuaskan konsumen), apa kata dunia!! Mudah-mudahan sangkaan saya tidak benar. Mudah-mudahan UKM telah menyadari pentingnya kepuasan dan hubungan baik dengan konsumen, Mudah-mudahan yang saya alami ini adalah ketidaksengajaan dan sampling error sebagai sebuah pengamatan. Mudah-mudahan UKM merasa perlu berpengetahuan marketing dalam memajukembangkan usahanya. Mudah-mudahan kata ‘(tidak)’ dalam judul  memang perlu dihapus.

Helicopter View

Ada apa dengan Helicopter View ? Secara leksikon, helicopter adalah helikopter (atau pesawat terbang yang mirip capung) dan View adalah pandangan, pemandangan. Jika dirangkaikan sebagai satu kesatuan, helicopter view adalah pandangan dari helikopter. Helicopter view adalah melihat pemandangan dibawah dari atas sebuah helikopter. Sebagaimana kita mengetahuinya (meskipun kita belum pernah menaikinya), helikopter adalah jenis kendaraan yang bisa terbang dan Lanjutkan membaca “Helicopter View”