Seputar BBM: Rekayasa Supply

Pemerintah kembali menunda upaya pembatasan konsumsi BBM untuk mobil ber-cc besar. Pelaksanaan ide pembatasan tersebut ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Ini adalah alasan alias. Sebenarnya sama saja kalau pemerintah mengatakan bahwa upaya itu dibatalkan untuk dilaksanakan. Ada lima langkah yang diputuskan sebagai pengganti (Jawapos, Jumat 4 Mei 2012, Pembatasan BBM Subsidi Ditunda, halaman 20), yaitu (1) kendaraan dinas pemerintah dilarang menggunakan BBM bersubsidi, (2) kendaraan untuk pertambangan dan perkebunan tidak diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi (alias menggunakan solar), (3) konversi dari BBM ke BBG, (4) PLN dilarang menggunakan pembangkit baru berbasis BBM (tetapi batubara atau energi terbarukan lainnya), dan (5) penghematan listrik dan air di gedung pemerintah. Lanjutkan membaca “Seputar BBM: Rekayasa Supply”

Seputar BBM: “Disparitas” Harga BBM di Dalam Negeri

Salah satu pembelajaran penting dari “batalnya” rencana kenaikan harga BBM adalah terjadinya disparitas harga BBM bersubsidi (yang dipatok pada harga Rp 4.500) dan harga BBM tidak bersubsidi (dalam hal ini, Pertamax yang harganya mengikuti perkembangan harga dunia). Dengan model amanah DPR kepada pemerintah seperti yang ditetapkan pada 30 Maret 2012, pergerakan harga dua BBM akan menciptakan gap. BBM bersubsidi ditetapkan pada harga “fixed” pada tingkat Rp 4.500 per liter sedangkan harga BBM pertamax dibiarkan “floating” mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Bisa dibayangkan, gap kedua harga BBM akan terus melebar jika harga dunia terus tinggi pada level yang sekarang. Apalagi, jika harga dunia tidak kunjung melonjak sehingga amanah menaikkan harga oleh pemerintah bisa dilakukan, gap ini tidak bisa segera diperbaiki. Lain ceritanya, jika harga minyak dunia turun, gap ini dengan sendirinya akan terkoreksi. Alhasil, kedua harga BBM mengalami disparitas di negeri tercinta ini.
Gap ini sepertinya tidak termasuk konsideran yang utama dalam keputusan 30 Maret 2012 yang lalu, saya pikir. Gap ini tidak pernah didiskusikan secara terbuka di televisi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gap ini tidak pernah menjadi wacana penting. Saya berintuisi bahwa jangan-jangan memang ini sengaja tidak dibahas karena memang secara eksplisit tidak berkaitan dengan harga BBM bersubsidi.
Namun, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa gap yang cukup lebar (Rp 4.500 per liter versus Rp 10.200 per liter (tergantung dimana pertamax dijual)) telah menyedot secara signifikan BBM bersubsidi. Secara natural dan rasional, gap ini akan mengarahkan pola konsumsi ke BBM bersudsidi. Selisih harga dua kali lipat lebih cenderung mendorong kendaraan ber-cc besar (dan cenderung boros dalam konsumsi BBM) beralih mengkonsumsi BBM bersubsidi. Tidak sedikit, mobil ber-cc besar, yang identik dengan mobil mewah yang dimiliki oleh kaum the have, tertangkap kamera masuk pada outlet pengisian BBM bersubsidi. Secara individual, saya kira ini adalah rasional dan alamiah. Pada situasi gap harga seperti ini, the invisible hand akan menggerakkan semua kendaraan mewah tersebut untuk berbelok pada pompa pengisian BBM bersubsidi.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan untuk menghindari disparitas ini ? Rekayasa sedang diwacanakan untuk menghindari jebolnya kuota BBM bersubsidi. Sepertinya, rekayasa yang akurat dan tidak gampang dipaluskan tidak pernah bisa ditemukan. Rekayasa melalui pemasangan stiker, plat nomor khusus, dan lain-lain, hanya menjadi wacana yang berkepanjangan. Menurut saya, pemerintah lebih baik tidak melakukan apa-apa. Biarkan gap harga terus berjalan sesuai dengan perkembangan dunia. Pemerintah tidak perlu merisaukan nasib rakyat kecil yang bukan penikmat utama BBM bersubsidi karena sejak dulu hingga sekarang mereka memang sudah menyusahkan rakyat kecil. So, do nothing is the best for the government.

Seputar BBM: Percikan Ide Kreatif

Dokumentasi kedua saya seputar BBM adalah ide Dahlan Iskan tentang mobil nasional Putra Petir. Ide ini bisa jadi adalah ide lama, semasa beliau sebagai direktur PLN. Tetapi ide ini seolah di-refresh untuk di-floor-kan lagi pada timing yang  tepat. Timing relaunching  ide ini tepat bukan pada saat mobil Esemka dari anak bangsa di Solo gagal dalam uji emisi tetapi pada saat heboh akan dinaikkannya harga BBM di negeri kita karena harga dunia meningkat. Lanjutkan membaca “Seputar BBM: Percikan Ide Kreatif”

Seputar BBM: (Bukan) Persoalan Ekonomi

Hasil sidang wakil rakyat yang terhormat pada hari Jumat, 30 Maret 2012, sungguh menjadi indikasi bahwa harga BBM bukanlah masalah ekonomi (saja). Fakta teknis (analisis) ekonomi  tentang rasionalitas kenaikan harga BBM tidak “mempan” untuk diajukan sebagai justifikasi . Ahli ekonomi, seperti pak Anggito Abimanyu dan pak Kwik Kian Gie, pada suatu acara talkshow di salah satu stasiun televisi  menyetujui kenaikan harga BBM ini. Pak Anggito menambahkan bahwa penghematan anggaran sebagai konsekuensi dari kenaikan harga BBM dialokasikan pada pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur energi dan transportasi umum. Lanjutkan membaca “Seputar BBM: (Bukan) Persoalan Ekonomi”

Seputar BBM: Fakta Produksi

Saya tertarik untuk mendokumentasikan apa yang terjadi menjelang 1 April 2012 yang diyakini sebagai hari penting jika wakil rakyat di DPR menyetujui kenaikan harga BBM. Dokumentasi pertama yang ingin saya tuangkan adalah sebuah tulisan oleh Pri Agung Rakhmanto (Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute) yang menulis artikel “Memahami Sistem Bagi Hasil Migas” di harian Jawa Pos, Selasa, 27 Maret 2012, Ekonomi Bisnis (halaman 6). Tulisan ini sangat basic, mudah dicerna, dan memberikan pencerahan perihal perminyakan untuk orang yang awam perminyakan.

Pri menyatakan bahwa eksplorasi migas di Indonesia didasarkan pada pola kerja sama production sharing contract. Negara belum bisa mengusahakan sendiri eskplorasi migas, tetapi bekerjasama dengan pihak asing. Fakta ini yang menyebabkan Indonesia sebagai penghasil migas (900 ribu barrel per hari saat ini), tetapi tidak bisa menikmati hasil produksinya untuk kepentingan rakyat karena harus share (85:15) dengan pihak asing.

Pri juga memberikan hitung-hitungan sederhana yang menarik disimak. Pertama, Indonesia harus melakukan cost recovery kepada pihak asing sebanyak 350 ribu barrel per hari. Kedua, Indonesia ‘hanya’ memperoleh 467,5 ribu barrel per hari (85%) dan asing menerima 82,5 ribu barrel per hari (15%). Alhasil, jika konsumsi migas saat ini 1,2 juta barrel per hari, impor yang harus dilakukan adalah 732,5 ribu barrel per hari.

Illustrasi ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara net importir migas, bukan net exportir. Oleh karenanya, Indonesia keluar dari organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Seandainya pun Indonesia mampu mengeksplorasi sendiri, Indonesia masih tetap net importir (dengan asumsi  produksi 900 ribu barrel per hari dan konsumsi 1,2 juta barrel per hari. Sebagai negara net importir, Indonesia akan secara mudah terekspos negatif oleh tren kenaikanharga minyak.