Butuh Modal Berapa?

Pertanyaan seperti itu merupakan salah satu yang penting dalam bisnis, terutama ketika akan memulai bisnis. Meskipun itu bukan pertanyaan pertama untuk merencanakan bisnis, pertanyaan itu harus segera dijawab. Tentunya, untuk bisa menjawab pertanyaan itu perlu tahu komponen pembentuk dari modal usaha. (Coba tebak, komponen pembentuknya apa saja sebelum melanjutkan untuk membaca narasi berikut ini).

Pada dasarnya, kebutuhan modal usaha ditentukan dari jumlah aset yang harus disiapkan untuk menjalankan bisnis itu. Aset untuk menjalankan bisnis dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu aset tetap dan aset lancar. Aset yang pertama adalah aset yang tidak bergerak atau aset yang memiliki umur ekonomis lebih dari satu tahun. Untuk usaha kuliner, misalnya, perangkat alat masak bisa dikategorikan sebagai aset tetap. Untuk bisnis retail, misalnya, rak display barang, alat di meja kasir merupakan aset tetap. (Silakan menuliskan di kolom komentar, apa contoh aset tetap pada bisnis Anda). Nah, jika semua aset tetap yang dibutuhkan sudah invetarisasi, nilai uang untuk belanja aset tetap itu sudah memenuhi unsur untuk menentukan modal usaha.

Berikutnya, aset lancar adalah aset yang likuid atau yang mudah dikonversikan menjadi uang tunai dan memiliki umur ekonomis kurang dari satu tahun. Untuk bisnis awal, aset lancar ini dapat dalam bentuk uang tunai dan persediaan bahan baku. Sebenarnya, aset lancar ini adalah modal kerja, yaitu uang (modal) yang dibutuhkan untuk bisa bekerja (menjalankan bisnis). Saya sudah mengillustrasikan bagaimana menentukan modal kerja pada posting saya di Bisnis Mlijo (2): Illustrasi Modal Kerja. (Silakan dibaca. Jika tidak mendapat penjelasan yang cukup, silakan tulis di kolom komentar apa yang perlu dibahas lebih lanjut. Mungkin saya bisa menjelaskan lagi. Mungkin).

Nah, jika aset tetap dan aset lancar sudah ditentukan, modal usaha sudah ditentukan. Begitulah kira-kira. Kalau narasi ini belum menjelaskan, silakan menuliskan dalam kolom komentar apa yang seharusnya dijelaskan agar narasi ini menjadi lebih lengkap lagi.

Bisnis Mlijo (1)

Mlijo atau penjaja sayur (atau tukang sayur) merupakan salah satu contoh bisnis yang daur hidupnya panjang dan tergolong jenis usaha yang tua. Barangkali, usaha ini adalah pioner bisnis yang mendekatkan produk pada konsumen. Usaha ini memindahkan “pasar” ke depan rumah konsumen. Usaha ini telah memangkas waktu belanja para konsumen (tidak perlu lagi ke pasar yang sebenarnya untuk mendapatkan bahan olahan menu makan hari ini).

Mlijo dulu adalah seorang perempuan berkebaya (istilah dalam bahasa Jawa: sewek-an) yang menyunggi dua tampah bersusun (biasanya yang paling atas berisi ikan-daging dan yang bawah berisi sayur). Mlijo menjajakan dagangannya keliling berjalan kaki menyusuri kawasan kampung dan gang-gang sempit.

Mlijo generasi berikutnya adalah yang berkendara (mulai dari sepeda, becak, sepeda motor hingga mobil pick-up). Operatornya sudah bergeser secara gender, lebih banyak lelakinya. Mlijo ini lebih cepat menemui konsumen/pelanggan, lebih banyak dagangannya, dan lebih luas radius operasinya.Mlijo menyesuaikan diri di era digital. Operator mlijo menambah fitur komunikasi melalui media sosial pengiriman pesan yang bisa dimanfaatkan oleh pelanggan untuk melakukan order khusus kebutuhan masak di dapur.

Mungkin suatu saat nanti ada operator bisnis mlijo yang menjalankan usaha berbasis digital yang lebih canggih. Bisnis ini akan bergerak dan berevolusi.

Sharing Manajemen Usaha

Pagi tadi, 2/12/2018, saya sharing session dengan mahasiswa UNEJ penerima beasiswa Bidik Misi tahun 2018. Saya share , salah satunya, mengenai analisis titik impas. Saya menyampaikan kepada audiens bahwa analisis ini merupakan analisis pokok yang harus dituangkan dalam usulan bisnis. 

Secara umum, tidak ada yang baru yang saya bagikan kepada audiens acara pagi itu. Saya hanya menyampaikan pengalaman membaca proposal bisnis dalam beberapa kurun waktu terakhir. Saya mengamati bahwa analisis ini sudah dituangkan secara benar. Perhitungan sudah dilakukan dengan formula yang benar. Sayangnya, hasil perhitungan tidak ditindaklanjuti. 

Tadi saya bertanyajawab mengenai nilai titik impas sebesar 50 paket per hari. Saya menanyakan kepada audiens makna dari angka itu. Seringkali, angka analisis titik impas tidak dimaknai untuk menggambarkan potensi atau prospek bisnis yang diusulkan. Misalkan saja, analisis titik impas menghasilkan angka 50 paket per hari. Tadi saya menanyakan makna dari angka tersebut. Sebagian besar memaknai angka tersebut sebagai aktivitas bisnis pada posisi tidak untung/rugi atau posisi impas. 

Saya memberikan pertanyaan berikutnya kepada audiens. Seandainya seseorang mengajak kita bergabung dalam bisnis itu, apakah kita tertarik untuk berinvestasi dalam perusahaan itu? Tidak ada yang bisa menjawabnya. Lalu, saya menambahkan informasi bahwa bisnis yang ditawarkan tersebut mempunyai rata-rata penjualan 150 paket per hari. Saya menanyakan lagi, “apakah Anda tertarik?”. Beberapa dari mereka menjawab seperti ini, “saya akan berinvestasi karena perusahaan itu berprospek baik (menguntungkan)”. Jawaban ini benar karena setiap 1 paket yang terjual di atas titik impas itu akan memberikan keuntungan pada bisnis ini. Kalau gap antara tingkat penjualan dan angka titik impas positif, bisnis itu terkategori menguntungkan, dan sebaliknya.

Saya menutup tanya-jawab mengenai titik impas dengan memberikan wrap-up terkait hasil diskusi. Analisis titik impas harus diberi konten informasi yang terkait dengan prospek bisnis. Analisis itu harus bisa mengilustrasikan kepada pembaca proposal bisnis (termasuk investor dan kreditur) bahwa bisnis yang dianalisis prospektif atau tidak. Jadi, analisis ini tidak sekedar menyajikan angkanya saja tetapi juga interpretasinya. 

Inflation Trap

Beberapa waktu lalu, penetapan Upah Minumum Regional (UMR) ramai dibicarakan. Tarik menarik antara para pekerja dan para pelaku bisnis terjadi dalam penetapan UMR tersebut. Para pekerja menuntut kenaikan UMR sedangkan para pelaku bisnis malah cenderung sebaliknya. keduanya bertindak rasional dari perspektif dan kepentingan masing-masing. Tuntutan biaya hidup, sebagaimana diindikasikan oleh Kebutuhan Hidup Layak (KHL), menyebabkan para pekerja menuntut kenaikan UMR. Dalih kemampuan perusahaan, para pelaku bisnis tidak secara mudah memenuhi keinginan para pekerja.

Lanjutkan membaca “Inflation Trap”

Pembatasan BBM Bersubsidi

Minggu pertama Agustus 2014, pasca perayaan lebaran dan Iedul Fitri, dihangatkan oleh rencana digulirkannya pembatasan distribusi BBM bersubsidi. Pada 4 Agustus 2014, pembatasan distribusi solar diberlakukan. Solar bersubsidi akan dibatasi distribusinya, yakni antara jam 08.00-18.00. Pembatasan distribusi BBM Solar ini merupakan rangkaian dari tahap-tahap pengendalian distribusi BBM bersubsidi.

Pembatasan distribusi BBM bersubsidi ini cukup rasional. Per 31 Juli 2014, konsumsi solar bersubdisi sudah mencapai 60% dari kuota APBNP 2014 (9,12 juta kl dari 15,16 juta kl) dan konsumsi premium bersubsidi mencapai 58% dari kuota APBNP 2014 (17,08 juta kl dari 29,29 juta kl). Secara hitungan kalender, persentase serapan konsumsi BBM bersubsidi sampai dengan 31 Juli 2014 adalah 58,33%. Ini berarti konsumsi solar bersubsidi sudah melebihi “jatah” sedangkan konsumsi premium bersubsidi masih dalam batas wajar.

Secara konsep, pembatasan distibusi yang akan diberlakukan akan mampu mengendalikan konsumsi BBM, khususnya solar, bersubsidi. Pembatasan ini akan “memaksa” konsumsi BBM akan dialihkan ke BBM nonsubsidi. Dengan cara ini, kuota BBM bersubsidi tidak akan terlewati.

 

Apakah konsep ini akan berhasil mencapai tujuannya? Bisa ya, bisa tidak. Apa yang dilakukan saat ini adalah pembatasan pasokan saja. Apa yang dilakukan saat ini tidak menyentuh secara langsung sisi permintaan BBM. Kalau semua konsumen menyadari pentingnya pembatasan ini, kebijakan ini akan berhasil mencapai tujuannya. Namun, kalau kebijakan ini disiasati oleh konsumen, hasilnya akan lain. Konsumen masih mempunyai celah untuk memanfaatkan window time yang cukup lebar untuk mengonsumsi BBM bersubsidi, yakni 8 jam sehari. Konsumen akan mengalihkan waktu konsumsinya pada window time tersebut. Jika konsumen berperilaku demikian, kemungkinan terburuknya adalah terjadinya antrian pada SPBU. Pada gilirannya, antrian bukanlah masalah yang serius bagi konsumen dibandingkan dengan selisih antara harga BBM bersubsidi dan harga BBM nonsubsidi. Pada gilirannya, kendaraan pribadi akan mengisi BBM di SPBU di dalam kota sedangkan kendaraan distribusi barang dan penumpang, seperti truk dan bus, akan mengisi BBM di SPBU sepanjang jalur antarkota. Nah, kalau yang terakhir ini terjadi, kebijakan pembatasan ini tidak akan mencapai tujuannya.

Tanda Pengenal Pegawai: Perspektif Ekonomi

Minggu ketiga Januari 2014 ini, para pegawai di lingkungan kampus saya melakukan pengambilan gambar tanda pengenal pegawai. Memang, keberadaan tanda pengenal pegawai yang disematkan sisi kanan baju PNS akan menjadi identitas yang penting bagi seorang pegawai saat dia mengabdi dan bekerja di tempat tugasnya. Secara umum, saya mengamati bahwa antusias para PNS dalam pembuatan tanda pengenal ini sangat besar. Bisa dikatakan semua pegawai memiliki kartu tanda pengenal saat ini.

Ada yang menarik dari sisi ekonomi dari pengadaan kartu tanda pengenal ini. Kartu ini di-bundling dengan ATM salah satu bank BUMN. Sampai level ini, sebenarnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan secara ekonomi. Setiap pegawai, terutama yang sudah melakukan aktivitas banking dengan bank BUMN tersebut, akan mendapatkan kemudahan dalam melakukan pembayaran dengan menggunakan ATM tersebut. Sebenarnya, kemudahan ini telah diperoleh sebelum ada program pembuatan kartu tanda pengenal ini mengingat saat ini gaji bulanan mayoritas pegawai telah ditransfer pada bank-bank yang ditunjuk.

Namun, bundling Kartu Tanda Pengenal dan ATM tidak sepenuhnya bisa diterima oleh pegawai. Pertama, bundling keduanya berisiko kehilangan ATM. Jika semua pegawai yang telah memilikinya mengenakan eblek kartu tanda pengenal tersebut selama menjalankan tugas di kantor, ATM lebih berisiko hilang karena ATM tersebut tidak tersimpan di tempat yang aman (dompet, misalnya). Tanpa sadar, Kartu Tanda Pengenal tersebut bisa ketlisut atau bahkan jatuh. Kedua, sebagian (besar) dari pegawai laki-laki yang sudah beristri mempunyai kebiasaan untuk menyerahkan ATMnya kepada istrinya. Setidaknya, ini yang saya dengar dalam perbincangan dengan beberapa pegawai selama menunggu giliran untuk difoto dan yang saya dengar dari penuturan customer service yang melayani saya untuk menggaktifasi beberapa fitur perbankan untuk saya. Tidak ada yang salah  dengan hal “serah-serahan” ATM ini (meskipun untuk orang perbankan, serah-serahan ATM ini tidak umum dilakukan). Saya melihatnya sebagai praktek budaya baik dalam berkeluarga (konon, di Jepang praktek budaya ini juga terjadi). Nah, karena Kartu Tanda Pengenal harus dibawa si pegawai selama bertugas di kantor, ATM tidak bisa “diserahkan” lagi. Hal ini bisa menjadi masalah. Terakhir, Kartu Tanda Pengenal ini diembel-embeli dengan nama bank yang menjadi issuer dari ATM ini. Ditilik dari sisi bank, pencantuman nama bank adalah hak bank yang bersangkutan. Tetapi, dilihat dari sisi penggunaan kartu, penyebutan nama ini menjadi kurang tepat (atau bahkan kurang nyaman). Tanpa disadari, ini merupakan advertisement gratis untuk bank.

Lalu, apa yang dilakukan oleh para pegawai itu? Berdasarkan pengamatan saya secara sepintas, banyak pegawai melakukan scanning halaman kartu tanda pengenalnya dan mencetak ulang diatas kertas foto. Hasilnya, kartu tanda pengenal “baru” telah diproduksi. Cara ini setidaknya efektif untuk menekan risiko hilang dan ATM bisa difungsikan seperti semula. Lebih kreatif lagi, kartu tersebut tidak saja discanning tetapi juga diedit. Nama bank issuer diganti dengan nama unit kerja tempat bekerja. Apakah tindakan ini menyalahi aturan atau menyalahi kesepakatan dengan pihak bank? Saya tidak tahu. Tetapi, saya kira ini adalah bentuk reaksi kreatif dari pegawai yang mungkin patut mendapatkan perhatian. Setidaknya, event ini memberikan pelajaran bahwa program ekonomi harus mempertimbangkan banyak hal, antara lain aspek kepraktisan, aspek perilaku pengguna (konsumen), dan aspek kemanfaatan.

Program Mobil Murah

Sudah seminggu terakhir ini, program mobil murah menjadi trending topic. Lalu lintas pendapat seperti yang bisa kita simak di media massa, baik cetak maupun elektronik, sangat ramai. Lalu lintas pendapat itu diwarnai dengan argumentasi pro dan kontra. Persis seperti ramainya lalu lintas kendaraan di jalan protokol suatu kota.

Kalau kita menyimak pro-kontra pendapat tentang program mobil murah ini, tidak ada pendapat yang salah. Artinya, setiap pendapat mempunyai argumentasi yang kuat dan sama benarnya. Yang kontra menyatakan, misalnya, mobil murah ini akan menyebabkan kondisi jalan macet. Pertumbuhan jalan selama ini sudah tidak seimbang dengan jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor. Kalau mobil murah “digerojokkan”, program ini akan memacetkan jalan. Belum lagi, belum ada instrumen yang efisien untuk memastikan bahwa mobil murah ini tidak menggunakan bahan bakar minyak (premium). Kalau pengguna menggunakan premium, persoalan “rutin” berkaitan bahan bakar minyak akan datang lagi. yang seharusnya didorong oleh pemerintah adalah program transportasi massal murah.

Yang pro dengan program ini menyatakan bahwa program ini akan menjadi pendorong dan memperkuat industri otomotif negeri kita. Era globalisasi dan kemungkinan berlakunya ASEAN Economic Community 2015 menuntut bangsa kita untuk lebih kompetitif di segala bidang, termasuk industri otomotif. Argumentasi lain adalah bahwa pembatasan terhadap kepemilikan mobil murah merupakan tindakan yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat selain yang kaya untuk memiliki mobil.

Sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini menjadi “kuliah” yang baik untuk kita semua. Ada yang bisa kita petik dari pro-kontra ini. Suatu fenomena ekonomi bisa diamati dari dua sisi, yakni sisi pro-kontra, sisi positif-negatif, posisi menguntungkan-merugikan. Apa pun fenomena ekonominya, polarisasi pendapat yang seperti ini juga akan terus terjadi. Bahkan, ekonom pun tidak akan mempunyai satu pendapat mengenai suatu fenomena ekonomi, termasuk tentang program mobil murah ini. Jadi, polarisasi ini merupakan hal yang lumrah terjadi.

Lalu, mau mana yang benar diantara keduanya? Yang benar adalah yang kita yakini argumentasinya benar, tanpa ada tendensi atau sentimen. Kalau argumentasi yang pro kita anggap benar, setujui dan belilah mobil murah itu. Kalau argumentasi yang kontra kita anggap benar, tolak dan jangan pernah membeli mobil murah itu. Kata almarhum Gus Dur, “gitu aja kok repot”.

EKONOMI RAMADHAN: INFLASI

Yang khas dari datangnya bulan Ramadhan adalah tumbuhnya harga-harga barang kebutuhan pokok, seperti daging ayam, daging sapi, telur ayam, lombok, tepung terigu, dan lain-lain. Belum juga hari pertama Ramadhan berlalu, harga-harga barang kebutuhan pokok ini meningkat. Sebagaimana direlease oleh beberapa media, baik media cetak maupun media elektronik, harga daging ayam mencapai Rp 30.000 per kg dan daging sapi mencapai Rp 60.000 per kg.  Alhasil, kenaikan harga pada beberapa komoditas ini akan menyebabkan terjadinya inflasi.

Mengapa inflasi terjadi?

Dalam konteks teoretis, inflasi (atau kecenderungan pertumbuhan (kenaikan)  harga secara umum) dapat dikategorikan sebagai cost-push inflation dan demand-pull inflation. Pada kondisi bulan Ramadhan hingga menjelang lebaran, ragam inflasi yang kedua terjadi. Artinya, kenaikan harga lebih disebabkan oleh adanya kenaikan permintaan dan ekspektasi kenaikan permintaan.

Budaya umat muslim untuk membuat sajian yang spesial, baik untuk berbuka dan sahur,  pada dan sepanjang bulan Ramadhan setidaknya bisa menjelaskan bahwa peningkatan permintaan akan terjadi pada beberapa komoditas kebutuhan pokok. Akibatnya, jika peningkatan permintaan ini tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan komoditas, harga komoditas akan meningkat, ceteris paribus.

Apa inflasi ini bisa dikendalikan?

Jika konteksnya adalah budaya, maka inflasi ini akan menjadi budaya juga. Sebagaimana bisa diamati, masyarakat pada umumnya bersifat maklum jika inflasi ini terjadi betapa pun sulitnya kondisi ekonominya. Permakluman ini seolah mengatakan bahwa inflasi pada bulan Ramadhan adalah rutinitas yang tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Jika konteksnya adalah keberpihakan kepada yang tidak mampu, maka inflasi ini bisa (dan mungkin harus) dikendalikan.  Salah satu upaya yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan operasi pasar dan menggelontorkan sejumlah pasokan dengan harga yang murah. Dalam jangka pendek, operasi pasar dapat meredam dan mengendalikan inflasi. Namun, operasi pasar tidak bisa secara terus menerus (dan kenyataannya operasi pasar memang bersifat temporer) karena ini menyangkut ketersediaan pasokan yang cukup untuk digunakan dalam operasi pasar.

Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat secara  individual?

Hal yang pertama yang bisa dilakukan oleh masyarakat secara individual adalah do nothing alias terima apa adanya. Masyarakat yang bisa do nothing adalah masyarakat yang tidak mempunyai masalah dengan purchasing power.

Berikutnya, masyarakat mengendalikan demand mereka menyesuaikan purchasing power mereka. Sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an, pengendalian demand dapat dilakukan dengan cara melakukan konsumsi secara tidak berlebih-lebihan.

Yang terakhir, yang mungkin paling bisa dilakukan oleh semua lapisan masyarakat dengan berbagai tingkat purchasing power adalah mengabaikan isu atau persoalan ekonomi ini dan lebih berfokus pada ibadah puasa. Bagaimanapun, bulan Ramadahan adalah bulan penuh berkah. Dengan keimanan bahwa puasa adalah proses untuk menuju ke ketakwaan, inflasi pun perlu dikesampingkan (mungkin karena ini masyarakat tidak terlalu worry dengan inflasi). Lalu, mari katakan: Marhaban Ya Ramadhan…Semoga bulan ini mengantarkan pada ketakwaan.

Bawang Putih Melambung Tinggi

Seminggu terakhir di minggu kedua  Maret 2013, harga bawang putih menjadi topik. Koran, radio, dan televisi menjadikan ini headline. Bahkan, Presiden RI pun angkat bicara mengenai kenaikan harga bawang ini. Saya beberapa waktu lalu juga menuliskan status di akun facebook “Reportese Ekonomi: Harga Bawang Putih Rp 100.000 kg”. Beberapa teman memberikan comment berkaitan dengan status saya: “konsep ekonomi apa yang bisa menjelaskan fenomena ini?”.  Saya pun balik comment kepada teman tersebut: “konsep supply-demand bisa menjelaskannya”. Bagaimana konsep ini bisa menjelaskan? Lanjutkan membaca “Bawang Putih Melambung Tinggi”

Minimarket Berjaringan versus Retail Tradisional (seri-2 )

Saya terinspirasi oleh popularitas musik dangdut pada kurun waktu beberapa tahun terakhir ini untuk dijadikan sebagai model solutif untuk mengatasi rivalitas antara minimarket berjaringan dan retail tradisional. Saya menganalogikan posisi retail tradisional saat ini sebagai musik dangdut. Kiprah para pelaku di industri musik dangdut bisa direplikasi untuk menempatkan kembali musik dangdut menjadi setara dengan jenis musik populer di mata dan hati pendengar atau penikmat musik. Lanjutkan membaca “Minimarket Berjaringan versus Retail Tradisional (seri-2 )”