Minimarket Berjaringan versus Retail Tradisional (seri-1)

Beberapa waktu lalu, koran lokal di Jember memuat pemberitaan seputar penolakan berdirinya minimarket berjaringan di wilayah Jember sebagai headline. Pemberitaan tidak saja memuat perbedaan pendapat antara anggota dewan yang terhormat dan Bupati saja. Kedua berbeda pandangan tentang minimarket berjaringan. Anggota dewan menolak sementara Bupati menyetujui. Alhasil, keputusan Bupati ini yang berlaku karena interpelasi oleh anggota dewan pun tidak mampu menghentikan keputusan Bupati untuk tidak mengijinkan berdirinya minimarket berjaringan di Jember. Koran tersebut juga memberitakan soal penolakan kelompok masyarakat terhadap pendirian minimarket berjariangan baru. Lanjutkan membaca “Minimarket Berjaringan versus Retail Tradisional (seri-1)”

Aplikasi Marginal Analysis

Artikel di http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/melihat-kekayaan-negara-dari-sudut-pandang-baru.html yang berjudul “Melihat Kekayaan Negara dari Sudut Pandang Baru” sangat menarik untuk dicermati.  United Nations Environment Programme (UNEP) menyodorkan pengukuran baru yang disebut Inclussive Wealth Index (Indeks Kekayaan Inklusif). Indikator ini tidak mengukur perkembangan ekonomi  suatu negara dengan Produk Domestik Brutto (PDB) saja tetapi juga mempertimbangkan skala kerusakan lingkugan atau penurunan standar hidup di negara itu (lebih detail cara menganalisis tingkat kerusakan dapat dibaca pada alamat web tersebut).

Hasilnya sungguh mengejutkan. Beberapa negara yang disebutkan terkoreksi pertumbuhan ekonominya . Cina yang PDBnya tumbuh 422% pada kurun 1990-2008 terkoreksi menjadi “hanya” 45% setelah menggunakan pendekatan indeks tersebut. Metode pengukuran ini sangat masuk akal. Menurut saya, pendekatan ini sangat balance karena tidak saja memikirkan aspek benefit tetapi juga aspek cost. Dalam konsep berpikir dalam ilmu ekonomi, pendekatan ini merupakan aplikasi dari konsep Marginal Analysis. Logikanya, suatu aktivitas ekonomi layak dilakukan hanya dan hanya jika aktivitas tersebut mendatangkan lebih banyak benefit daripada cost-nya. Sayangnya, tidak semua cost yang dibayarkan dalam suatu aktivitas ekonomi tidak semuanya terukur secara moneter (uang). Sebagai misal, pada sektor pertambangan batubara, eksplorasi batubara dianggap hanya berkonsekuensi biaya yang besifat eksplisit seperti biaya tenaga kerja, biaya pengangkutan, dan lain-lain. Sementara itu, biaya yang bersifat implisit, seperti kerusakan alam dalam bentuk cekungan danau gersang, tidak secara nyata diperhitungkan. Akibatnya, begitu suatu objek sudah exhausted, aktivitas eksplorasi hanya meninggal kegersangan yang membutuhkan waktu untuk bisa direklamasi. Belum lagi, biaya reklamasinya tidak sedikit. Nah, kalau pendekatan UNEP ini diterapkan, mudah-mudahan ini akan menyadarkan semua pihak, termasuk pemerintah dan swasta, dalam membangun ekonomi suatu negara. Pembangunan seharusnya tidak saja terfokus pada angka-angka “benefit” saja tetapi juga angka-angka “explicit dan implicit cost”. Mudah-mudahan dengan cara ini, pengukuran hasil pembangunan ekonomi ini berpihak pada kesejahteraan secara lebih riil.

UKM (tidak) Perlu Berpengetahuan Marketing ?

Beberapa minggu yang lalu saya mendatangi sebuah perusahaan jasa penjahitan baju. Saya membawa selembar bakal baju berbahan batik khas Jember. Saya mendatangi perusahaan ini karena seorang teman memberikan penilaian positif terhadap hasil jahitan bajunya. Saya menganggap penilaian positif ini sebagai rekomendasi positif. Singkatnya, saya berani mencoba karena efek word to mouth promotion ini.

Seperti biasanya, si penjahit, yang saya duga adalah pemilik dari usaha ini, langsung melakukan body fit dan mencatat hasilnya pada log booknya. Tidak lupa dia menanyakan perihal model baju. Say a memesan model baju lengan pendek  dengan kancing baju yang tertutup. Setelah selesai body fit, saya menerima sebuah kuintansi dari si penjahit tersebut dan saya pun membayar lunas ongkos jahitnya. Dia meminta saya untuk kembali lagi untuk mengambil hasilnya seminggu kemudian.

Tujuh hari berikutnya saya mendatangi perusahaan jasa ini. Sayangnya, saya harus menyimpan kecewa yang pertama. Pintu harmonika perusahaan ini tertutup. Saya sempat mengintip bagian dalam ruangan. Saya melihat lampu ruangan menyala. Saya ketuk pintu besi itu dengan batang kunci kendaraan yang saya bawa. Ternyata, tidak ada respons sama sekali. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang.

Dua hari kemudian saya kembali mendatangi perusahaan jasa ini. Lagi, saya harus menyimpan kecewa yang kedua. Pintu harmonika perusahaan ini terbuka. Yang ada di dalam ruangan hanya seorang pegawai yang membantu menjahit. Saya menyodorkan kuintansi pengambilan baju kepadanya. Ternyata, baju belum selesai dijahit dan bahkan kain batik itu belum diapa-apakan. Dia  mengatakan bahwa si empunya sedang pergi keluar kota seminggu ini dan baru balik esok hari.  Saya lalu dengan bersabar menanyakan kapan baju saya selesai. Si pegawai  menyebut waktu enam hari lagi!

Saya tidak habis berpikir dengan ‘keberanian’ si pemilik perusahaan untuk mengabaikan hak seorang konsumen. Dia menganggap bahwa konsumen yang membutuhkan dia. Toh, kain yang dibawa konsumen dan ongkos kerja yang sudah terbayar berada di sisi dia. Dengan kata lain, dia pada posisi tawar yang bagus karena pasti konsumen akan kembali lagi untuk mengambil baju yang dipesannya.

Saya hanya menduga bahwa si penjahit ini merasa hasil kerjanya sudah super, the best, tidak ada tandingannya. Dengan demikian, dia merasa memegang monopoly power sehingga dia  bisa bekerja seenaknya. Tapi toh, dugaan saya ini bisa salah dan di sektor jasa penjahitan baju ini monopoly power tidak mudah memperolehnya. Seandainya, monopoly power benar dimilikinya, menghormati hak konsumen adalah suatu tindakan terpuji.

Lalu, saya memberanikan diri untuk melakukan over-generalization: kalau semua perusahaan sejenis ini, dengan skala Usaha Kecil dan Mikro (UKM),tidak memahami konsep marketing ini (dalam hal ini memuaskan konsumen), apa kata dunia!! Mudah-mudahan sangkaan saya tidak benar. Mudah-mudahan UKM telah menyadari pentingnya kepuasan dan hubungan baik dengan konsumen, Mudah-mudahan yang saya alami ini adalah ketidaksengajaan dan sampling error sebagai sebuah pengamatan. Mudah-mudahan UKM merasa perlu berpengetahuan marketing dalam memajukembangkan usahanya. Mudah-mudahan kata ‘(tidak)’ dalam judul  memang perlu dihapus.

(Sulitnya) Menghemat Subsidi (BBM)

Subsidi BBM dilaporkan membengkak dari Rp 129,7 triliun menjadi Rp 160 triliun (atau meningkat Rp 30,3 triliun) pada APBN Perubahan 2011. Angka ini dinilai sangat fantastis sehingga pemerintah menganggap bahwa pembatasan konsumsi BBM bersubsidi akan diberlakukan pada April 2012. secara gampang-gampangan, jika pembatasan ini berhasil, pemerintah akan mengalokasikan efisiensi subsidi untuk kepentingan lain yang lebih “membangun”. Lanjutkan membaca “(Sulitnya) Menghemat Subsidi (BBM)”

Ekonomi Lebaran

Fenomena lebaran Idul Fitri merupakan even tahunan yang bisa dijadikan contoh bagaimana suatu perekonomian bergerak. Fenomena ekonomi dari lebaran diawali oleh sirkulasi uang yang bertambah secara signifikan mulai seminggu sebelum lebaran tiba. Instansi pemerintah dan swasta mulai membagikan Tunjangan Hari Raya (THR) pada periode tersebut. Bahkan, Kemanekertrans menghimbau agar entitas perusahaan membayarkan THR ini jauh sebelum lebaran tiba.

Pertambahan stok uang karena THR ini bukan satu-satunya sebab sirkulasi uang bertambah. Penyebab lain adalah penarikan dana tunai yang tersimpan di perbankan dengan rasio dua kali lipat, kurang lebih. Bertambahnya uang dalam peredaran ini menjadi pelumas baru bagi putaran roda perekonomian. Secara agregat, jumlah uang ini menyebabkan daya beli masyarakat meningkat. Berbagai komoditas dan/atau jasa yang dibutuhkan pada periode lebaran dibeli oleh masyarakat, mulai dari pakaian baru, makanan ringan/kue kering, minuman ringan/teh/kopi/sirup, daging sapi/ayam, pulsa, hingga jasa transportasi. Saking besarnya peningkatan daya beli masyarakat ini, pasar komoditas dan jasa mengalami over demand (kelebihan permintaan). Indikasi over demand bisa diamati dari padatnya pasar tradisional, super market/hypermarket, mall, terminal bis, stasiun kereta api, pelabuhan laut, dan pelabuhan udara pada periode seminggu sebelum dan seminggu sesudah lebaran.

Secara teoretis, peningkatan demand ini bisa menjadi blessing dan sekaligus problem dalam perekonomian. Dari sudut pandang “blessing”, peningkatan demand pada berbagai komiditas ini mendorong peningkatan supply (produksi) berbagai komoditas. Produsen akan semaksimal mungkin meningkatkan produksi mereka untuk memanfaatkan peningkatan demand musiman ini. Hal ini akan mendorong pertumbuhan produksi dan ekonomi secara agregat (meskipun bersifat sementara atau jangka pendek). Dari sudut pandang “problem”, overdemand akan menyebabkan demand pull inflation (inflasi yang dipicu oleh permintaan). Bisa diamati, semua harga komoditas yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan perayaan lebaran naik.

baca juga: Ekonomi Lebaran 2

Bubble Economy

Release di Jawa Pos, Senin, 1 Agustus 2011, dalam halaman Ekonomi Bisnis diberitakan perihal dampak dari kemungkinan krisis utang Amerika Serikat (AS). Berita ini sangat mengedukasi karena tidak saja memberikan pencerahan teoretis tetapi juga praktis. Uraian dalam artikel berita tersebut sangat sarat dengan prediksi-prediksi yang berbasis teori dalam dunia nyata. Lanjutkan membaca “Bubble Economy”

Fatwa MUI versus Mekanisme Pasar

Papan “Solar Habis” dan antrian panjang tampak pada beberapa SPBU di wilayah Kabupaten Asahan dan sekitarnya beberapa waktu lalu.  Dan Koran setempat pun masih memberitakan perihal kelangkaan BBM ini pada beberapa hari setelah itu. Ternyata, pasokan BBM dikurangi. Sepertinya, ini masalah klasik. Pemerintah ingin mengendalikan laju subsidi BBM melalui cara pengendalian pasokan BBM. Lanjutkan membaca “Fatwa MUI versus Mekanisme Pasar”

Masalah TKI: Mengendalikan Supply

Sungguh suatu paradoks telah terjadi di seputar ketenagakerjaan Indonesia. Di tengah musibah hukuman mati terhadap almarhumah Ruyati (semoga dosanya diampuni oleh Allah SWT), sebuah berita di salah satu televisi swasta memberitakan perihal penggerebekan di suatu perusahaan jasa pengerah TKI. Dalam tayangan, para calon tenaga kerja yang terdiri atas kaum hawa dalam jumlah yang besar ditampung dalam suatu tempat. Penggerebekan ini menemukan calon TKI yang buta huruf dan tengah hamil. Fenomena ini menunjukkan bahwa bekerja di negeri orang masih sangat menarik apa pun risikonya. Lanjutkan membaca “Masalah TKI: Mengendalikan Supply”

Moginsidi Plaza: Plus Minus Ekonomi Second Hand Market

Monginsidi Plaza adalah suatu tempat atau pasar di samping Sei Silow kota Tanjungbalai. Nama ini diinspirasikan dari nama kawasan Jalan Monginsidi di Kota Medan yang menjadi pusat penjualan barang second hand. Kawasan ini kemudian dikenal dengan Monza yang merupakan kependekan dari Monginsidi Plaza. Lanjutkan membaca “Moginsidi Plaza: Plus Minus Ekonomi Second Hand Market”

Sisi Ekonomi Dari Problem Angkutan Kota Jember

Dua hari ini koran lokal memberitakan perihal konflik antara awak angkutan kota (yang dikenal sebagai lin) dan awak bus antarkota. Versi awak angkutankota, bus antarkota telah merugikan mereka karena awak bus sering menaikkan dan menurunkan penumpang sepanjang jalur Terminal Pakusari dan Terminal Tawangalun (Radar Jember, 1 April 2011). Awak lin menilai bahwa perilaku awak bus ini yang menyebabkan turunnya jumlah Lanjutkan membaca “Sisi Ekonomi Dari Problem Angkutan Kota Jember”